Redaksi II |
Jumat, 03 Agustus 2012 - 14:56:00 WIB
| dibaca: 862 pembaca
Eramuslim.com | Media Islam Rujukan,
Oleh : Azimah Rahayu
Satu tahun berlalu. Fitra, keponakan kecil saya berusia
tepat tiga tahun. Semestinya saya menyambutnya dengan gembira dan
bahagia. Karena dalam usia yang kesekian itu seorang anak tengah
lucu-lucunya. Tapi ternyata kali ini saya menyambut tiga tahun usianya
dengan banjir airmata.
Sejak terakhir kali saya mencatat perkembangannya ketika
dia berusia dua tahun, Fitra telah berkembang sangat pesat. Dalam waktu
satu tahun sudah begitu banyak hal yang dia pelajari. Nyaris seluruh
kosa kata bahasa jawa sudah dia kuasai dan digunakan dengan tepat, serta
tanpa cadel kecuali sedikit saja. Bahkan dia suka mengulang ungkapan
bahasa Indonesia yang saya pakai namun tidak lazim dalam percakapan
bahasa Jawa. Suatu hal yang menggembirakan seharusnya.
Tapi mengapa saya menyambutnya dengan duka jiwa? Karena
Fitra mengalami banyak perkembangan jiwa, akhlak dan moral menjurus ke
arah negatif. Bahwa ada banyak hal positif yang telah dia raih, saya
tidak menafikan itu. Tapi perkembangan hal buruknya jauh lebih
mengkhawatirkan saya.
Fitra saya sekarang suka memaksakan kehendak jika
menginginkan sesuatu. Jika tidak dipenuhi dia akan mengamuk. Selain itu,
jika ditegur karena melakukan sesuatu yang tidak baik, dia malah marah,
kadang mengamuk juga. Berteriak-teriak, memukul, mencubit, menggigit
dan sebagainya. Tak peduli itu bapak, kakek, nenek, mamanya, saya, atau
siapapun. Pun, dia suka berbicara dengan nada keras, tinggi serta
memerintah. Kosakatanya yang sudah masyaAllah berhamburan dalam konotasi
buruk. Sehingga dalam usianya yang tiga tahun, saya seakan melihat
sosok pemuda masa depan yang kasar, suka memaksa dan tak bisa diatur.
Fitra punya kecenderungan pemberontak, itu mungkin
sekali. Karena bahwa setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah itu
tidak berarti semua anak benar-benar seperti kertas kosong dan memiliki
kondisi start yang sama. Mereka punya potensi/gen yang mengalir dalam
darah mereka. Potensi ini akan berkembang atau mati karena stimulan dari
kondisi dan pembelajaran dari sekelilingnya. Mereka punya modal yang
akan tumbuh dan mengarah pada kebaikan atau keburukan tergantung dari
pengaruh dan pendidikan yang dia terima dari lingkungannya: orang-orang
dekat yang setiap hari berinteraksi dengannya. Dan hal ini pun sudah
saya sadari sejak lama, karena teori perkembangan anak menyatakan bahwa
usia dua sampai tiga tahun seorang anak mengalami perkembangan tercepat,
baik secara jiwa, fisik maupun akal.
Dan saya merenungi ini.
Bahwa tak ada yang mengajarinya berbicara dengan
nada-nada tinggi dan meminta sesuatu dengan perintah kasar, saya percaya
itu. Tapi saya tidak yakin Fitra kecilku tidak meniru orang-orang di
sekelilingnya yang terbiasa berbicara dengan nada tinggi dan teriakan.
Tak ada yang mengajarinya bersikap tidak sopan dan memukul orang yang
lebih tua, namun saya percaya Fitra banyak melihat orang-orang dewasa
bersikap tidak sopan dan suka memukul.
Sulit bagi saya mengajarkan Fitra untuk selalu membuang
sampah pada tempatnya, sedang di sekelilingnya semua orang terbiasa
membuang sampah sesuka hati. Susah setengah mati saya menyuruhnya
mengenakan sandal atau sepatu jika bermain karena nyaris semua teman
mainnya tidak mengenakan alas kaki. Tak mudah saya mengajarkan Fitra
pipis di kamar mandi dan bersuci sesudahnya, sedang banyak tetangga kami
buang air kecil di balik pohon atau di pagar halaman.
Menyaksikan perkembangan Fitra seperti memutar ulang
memori tentang generasi saya dulu dan kadang membuat saya ketakutan:
haruskah sebuah genarasi kembali berulang? Dulu, saya pun dibesarkan
dengan cara dan dalam kondisi yang sama. Dan kemudian, saya tumbuh
menjadi manusia dengan cara berpikir dan cara bersikap yang - setelah
saya dewasa dan belajar agama-- sering saya sesali dan saya tangisi
karena beratnya upaya untuk membenahi diri.
Dulu, teman-teman saya dibesarkan dengan cara dan dalam
lingkungan yang nyaris sama, kemudian kini mereka tumbuh besar apa
adanya, dan nyaris merupakan replika dan reinkarnasi dari para orang
tuanya. Dalam budaya keseharian maupun budaya berpikir. Semuanya. Dulu,
orang tua-orang tua kami banyak yang menikah setelah hamil, dan kini
teman saya banyak yang melahirkan tanpa bapak. Dulu judi buntut adalah
hal wajar bagi para dewasa, kini judi togel, taruhan playstation bahkan
taruhan tarung tamiya dan beyblade sudah menjadi budaya anak TK hingga
remaja. Dulu, minuman arak menjadi satu jamuan di hajatan, kini bir dan
vodka ada di pos kamling dan tempat nongkrong. Dulu, orang tua kami
sekolah secukupnya kemudian bekerja di pabrik. Kini, bahkan banyak anak
yang tak meneruskan sekolahnya kemudian luntang lantung. Dulu,
perbuatan-perbuatan musyrik menjadi keseharian kami, dan kini, tak
seorang pun berupaya untuk merubahnya. Semua nyaris tetap sama, meski
generasinya telah berganti.
Nanti, haruskah itu terulang kembali pada generasi Fitra
dan kawan-kawannya? Saya tak dapat membayangkan seperti apa jadinya jika
demikian.
Lantas apa yang bisa saya lakukan? Mengharapkan Fitra
saya tumbuh, kemudian mencari jalan kebenaran dari jiwanya sendiri
hanyalah sepersemilyar kemungkinan. Harus ada upaya dan stimulan dari
orang dewasa di sekelilingnya dengan mendidik berdasarkan kesadaran atas
benar salah, boleh dan tidak, bukan kebiasaan. Agar ada atsar yang
tertinggal di jiwanya hingga dapat menguatkan akal serta nuraninya dan
membuatnya mampu berkembang menjadi lebih baik. Hingga dia peka terhadap
kebaikan dan kebenaran. Agar apa yang dia peroleh dari lingkungannya
menjadi suatu macam pertimbangan. Bukan sesuatu yang lekat dan tak
berubah dari jiwanya. Masih banyak waktu untuk berubah, berkembang dan
mekar.
Dan stimulan itu baru akan terwujud jika orang-orang di
sekeliling Fitra pun berusaha berubah menjadi lebih baik. Bertumpu pada
bagaimana mendidik Fitra saja tanpa membenahi lingkungannya bagaikan
memupuk di atas tapi dari bawah digerogoti. Bagaikan menulis di atas
air. Nyaris tak berbekas, tak memberikan atsar. Tapi jika orang-orang
dewasa di sekeliling Fitra mendapatkan pendidikan dan mendidik diri
menjadi lebih baik, niscaya Fitra-Fitra yang lain pun tak perlu tumbuh
sebagai replika generasi sebelumnya. InsyaAllah dengan demikian, setelah
dewasa nanti, Fitra dan kawan-kawan akan membangun generasi
anak-anaknya dengan lebih baik lagi, lagi, dan lagi. Sehingga, semakin
tua dunia, semakin peka nurani manusia, semakin cerdas otak penghuninya,
dan semakin indah budayanya. Dan, manusia pun akan menjadi
sebenar-benar khalifah Allah di muka bumi. Semoga.
Sumber : http://www.eramuslim.com/berita-haruskah-generasi-kembali-berulang.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk meninggalkan komentar, di bagian "Beri komentar sebagai:" yg ada di bawah, pilih opsi "Name/URL", kemudian isi nama anda pada kolom "Nama" & isi alamat website/blog/link anda pada kolom "URL" (bila tidak ada bisa dikosongkan) lalu klik "Lanjutkan". Setelah itu tulis komentar anda, jika sudah klik "Poskan Komentar" (di pojok kiri bawah). Terakhir, masukan kode acak yg tertera di gambar, lalu klik "Poskan Komentar"