Saya
mahasiswa tingkat akhir, mahasiswa biasa, manusia biasa bila menurut manusia
yang lainnya, dengan sekelumit akal dan pikiran yang terkadang gila terkadang
waras dan terkadang membuat teman-teman saya berkata ‘kamu ada ada saja,’ atau
bahkan ‘mungkin kalau orang yang ndak kenal sama kamu, dia malu kali ya jalan
sama kamu,’ begitu kata seorang teman saya.
Saya
mahasiswa, mahasiswa yang mencoba mengais-ngais rahmat, mahasiswa yang mencoba
menggapai-gapai kasih, mahasiswa yang mencoba mencari, menemukan, memaknai
hingga merasakan apa yang namanya cinta, cinta dari Yang Maha Menciptakan.
Saya
mahasiswa, mahasiswa yang berharap akan hikmah dan pelajaran, hikmah dari
sebuah perjalanan, pelajaran dari sebuah kehidupan.
Berjalan
menyusuri papping-papping jalanan, saya sudah semakin berumur saja. Belum ada
prestasi, belum ada sesuatu yang berharga menurut saya yang bisa saya berikan,
persembahkan pada Nya, pada Dia yang sudah Menciptakan saya, pada orang tua
saya yang sudah melahirkan dan membesarkan saya, pada mereka yang sudah begitu
banyak membantu, mengerti, memahami, dan berjasa pada diri ini, tidak juga oh
bukan tidak tetapi belum, ya belum, belum juga mampu memberi kontribusi yang berarti
terhadap bangsa ini.
Berhenti
bercerita tentang diri saya yang sebenarnya mungkin menurut kalian saya
mahasiswa yang biasa, tetapi luar biasa menurut saya, dan entah darimana
ke-luarbiasaan itu saya menilainya.
Hikmah
itu saya temukan, pelajaran itu saya dapatkan di suatu senja. Saat dimana saya
berlari mengejar matahari, saat dimana saya berjumpa dengannya dengan nafas
yang terengah-engah, dengan peluh keringat yang mengucur deras membasahi, dari
kepala hingga ujung kaki ini.
‘Hhh,
hsh…hsh… jangan pergi Mentari, temani aku barang sebentar saja di senja yang
sendu ini,’ kataku
Ia
tersenyum, senyumnya yang merekah mengeluarkan seberkas sinar berwarna kuning
keemasan, menyilaukan.
‘Jangan
berlari, karena kamu memang tidak perlu berlari, kenapa? karena aku menanti,’
begitu kata sang Mentari.
Duduk
dalam diam, di belakang asrama sembari bercengkrama dengan sang Mentari.
Melihat burung layang-layang hilir mudik beterbangan, melintasi birunya langit.
Kadang ku lihat satu ekor saja yang bergaya di atas langit sana, kadang
berkelompok. Mereka menukik, melakukan manuver-manuver yang cukup berbahaya
bila itu dilakukan oleh seorang pilot yang nyatanya seorang manusia.
Burung-burung yang berada di atas sana merupakan pesawat terbang tercanggih
yang pernah ada di jagat raya.