Siraaj
Kamis, 19 April 2012 23:57:01
Kamis, 19 April 2012 23:57:01
(Arrahmah.com)
- Islam memposisikan wanita dengan begitu mulia, karena generasi
gemilang akan lahir dari rahimnya. Dalam masa kebudayaan jahiliyah
sebelum datangnya Islam, wanita dianggap sangat rendah dan hina bahkan
tidak sedikit ketika lahir anak perempuan dikubur hidup-hidup. Mereka
memandang wanita dengan sebelah mata, bahkan dianggap hina dan tidak
berharga. Setelah datangnya Islam, terbukti wanita dapat menghirup udara
bebas dan diberikan tugas kepadanya dalam membangun sebuah masyarakat
yang berbudaya dan beradab.
Maka kita tidak heran bahwa dalam Islam tidak ada yang namanya
diskriminasi terhadap wanita, tidak ada tuntutan emansipasi wanita dan
feminisme. Karena sejak pertama kali di wahyukannya agama Islam kemuka
bumi, Islam selalu menjunjung tinggi harkat dan martabat kaum wanita.
Dan syariat Islam yang seperti ini tidak akan luntur di makan zaman, tak
akan pernah berevolusi maupun revolusi.
Hal ini berbeda dengan budaya barat dewasa ini yang merupakan produk
dari zaman yang akan selalu berubah dan bergeser karena kikisan sang
waktu. Sedangkan Islam meletakkan antara pria dan wanita sesuai dengan
kodrat masing-masing. Maka dari itu tidak ada alasan bagi kaum muslimin
baik pria, wanita, tua, muda untuk menuntut lebih dari yang di gariskan
oleh sang maha menetapkan, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena Allah-lah
yang maha mengetahui rahasia-rahasia di balik penciptaan mahluknya.
Bangsa barat dalam reformasi dan modernisasi, menuntut persamaan hak
(emansipasi). Namun, konsep emansipasi itu sendiri yang semakin lama
semakin tidak jelas, yang seharusnya emansipasi membebaskan wanita dari
belenggu perbudakan, tetapi malah menjerumuskan wanita ke jurang
perbudakan yang baru. Pada masyarakat kapitalis, wanita dieksploitasi
dan menjadi komoditas yang dapat di perjual belikan kepada umum,lihat
saja tayangan iklan-iklan di media informasi di sekeliling kita. Di
dalam masyarakat yang bebas, wanita di didik budaya permisif yang lepas
dari nilai-nilai normatif hanya untuk kepentingan industri. Di luar
konsep Islam mereka menuntut kesamaan, kebebasan dan hak asasi manusia,
padahal mereka malah mengabaikkan kodrat dan martabat wanita yang
seharusnya dijunjung tinggi. Secara tidak langsung mereka menganggap
bahwa Islam bersikap diskriminasi terhadap wanita. Padahal Islam
menempatkan wanita tidak melebihi atas apa yang telah di gariskan dan
dikodratkan sebagai wanita.
Umar bin Khathab pernah berkata, "Pada masa jahiliyah, wanita itu tak
ada harganya bagi kami. Sampai akhirnya Islam datang dan menyatakan
bahwa wanita itu sederajat dengan laki-laki." Persamaan yang dimaksudkan
oleh Islam ini meliputi segala aspek, termasuk masalah hak dan
kewajiban. Hal ini sangat dipahami oleh para wanita Islam dan oleh
karenanya mereka pegang ajaran Islam dengan sangat kuat.
Tidak jarang ada pernyatraan dari ummat Islam berkata, "Jalan menuju
kebangkitan sudah sangat jelas, yaitu dengan cara kita menempuh jalan
yang telah ditempuh bangsa Eropa. Lalu, agar kita dapat berubah seperti
mereka, maka segala apa yang ada pada mereka harus kita ambil. Pahit,
manis, kebaikan, keburukan dan termasuk hal-hal yang disukai juga yang
dibenci (Toha Husein, masa depan pengetahuan di Mesir)
Hancurnya Keluarga
Masalah selanjutnya bukan lagi hanya seputar masalah wanita dan
hak-hak mereka saja. Akan tetapi, menjadi meluas dan melebar meliputi
bagaimana membangun rumah tangga seperti cara dan gaya yang sesuai
dengan peradaban Barat. Berkembanglah pemikiran bahwa membina rumah
tangga tak perlu lagi memperhatikan aturan dan nilai-nilai. Peran "ibu"
tak lagi menjadi tugas wanita saja. Peranan itu sebenarnya adalah
tanggung jawab masyarakat. Bahkan, peran itu dapat dilakukan oleh wanita
dan laki-laki.
Sebenarnya, di Eropa pemikiran dan ideologi ini melahirkan banyak
permasalahan. Sebagai contoh di Perancis tercatat 53% anak-anak yang
lahir tak memiliki bapak yang jelas. Di banyak negara Eropa semakin
berkembang trend enggan mempunyai anak bahkan enggan untuk menikah.
Hubungan laki-laki dan wanita sekadar hubungan seks bebas tanpa ada
ikatan, tak ada aturan yang mengikat. Dan selanjutnya mereka menuntut
agar dilegalkannya aborsi sebagai dampak langsung dari merebaknya budaya
seks bebas.
Hal ini juga berdampak pada meningkatnya angka kriminalitas dengan
sangat tajam. Pada tahun 1998 tingkat kriminalitas di Amerika mencapai
angka yang sangat fantastis. Tindakan perkosaan terjadi setiap 6 menit,
penembakan terjadi setiap 41 detik, pembunuhan setiap 31 menit. Dana
yang dikeluarkan untuk menanggulangi tindakan kejahatan saat itu
mencapai 700 juta dolar per tahun (angka ini belum termasuk kejahatan
Narkoba). Angka ini sama dengan pemasukan tahunan (income) 120 negara
dunia ketiga.
Kejahatan atas wanita
Merebaknya kejahatan memberikan bahaya tersendiri buat para wanita di
Eropa. Hingga PBB pada 17 Desember 1999 mengeluarkan keputusan bahwa
tanggal 25 November merupakan hari anti kekerasan pada wanita. Ada
banyak fakta dan data yang seharusnya diperhatikan oleh mereka yang
terbuai dengan Barat. Di Eropa dan Amerika pada setiap 15 detik terjadi
kekerasan atas wanita. Belum lagi jika ditambah dengan aksi pemerkosaan
setiap harinya. Sehingga Amerika tercatat sebagai negara tertinggi dalam
hal kekerasan terhadap wanita. Menurut catatan UNICEF, 30% kekerasan
pada wanita terjadi di Amerika dan 20% di Inggris.
Belum lagi kejahatan perbudakan yang terjadi di Amerika, CNN
pernah menyiarkan laporan bahwa pada tahun 2002 jutaan anak-anak dan
wanita dijual belikan di Amerika setiap tahunnya. Lebih dari 120 ribu
wanita berasal dari Eropa Timur dan beberapa negara miskin lainnya
dikirim ke Eropa untuk dipekerjakan sebagai budak seks. Lalu lebih dari
15 ribu wanita yang mayoritas berasal dari Meksiko dijual ke Amerika
untuk dipekerjakan di komplek-komplek pelacuran.
Bisnis haram ini bahkan merenggut kemerdekaan anak-anak di dunia,
hingga Sidang Umum PBB pada pertemuan yang ke 54 mengeluarkan keputusan
pada 25 Mei 2000 tentang hak anak. Sebuah keputusan yang mendesak agar
dilakukan pencegahan agar tak lagi terjadi jual beli anak apalagi
kemudian dipekerjakan sebagai budak seks seperti yang terdapat pada
jaringan internet.
Memperhatikan apa yang terjadi di Barat, seharusnya membuat kita
berfikir panjang jika ingin menempuh jalan yang telah ditempuh oleh
Barat. Dalam penjara Israel terdapat sekitar 100 tawanan wanita. Mengapa
Barat diam saja atas semua ini. Di Palestina terdapat lebih dari 250
wanita yang telah menemui syahidnya, belum lagi para wanita yang
menderita luka-luka pasca intifadhah. Adapun tentang wanita di Irak,
cukuplah bagi kita apa yang disampaikan oleh organisasi dunia pada 22
Februari 2005 yang mengatakan bahwa kondisi wanita Irak tak jauh berbeda
dengan kondisi manakala mereka berada di bawah pemerintahan Sadam
Husein.
Hal ini menjelaskan bahwa kemerdekaan dan kebebasan wanita seperti
yang digemborkan Amerika sama sekali tak menyentuh mereka. Bahkan
kondisi mereka di bawah penjajahan Amerika jauh lebih buruk lagi. Mereka
menerima perlakuan kasar, dianiaya, dilecehkan bahkan diperkosa.
Penutup
Maka, sebagai umat Islam marilah kita lebih jernih berpikir, dan
tidak terpengaruh argumentasi bahwa feminisme dan kesetaraan gender
dapat menjadi solusi dari permasalahan kaum perempuan di dunia Islam,
semisal kekerasan rumah tangga (domestic violence) , women trafficking,
dan permasalahan sosial lainnya. Sampai saat ini, negara-negara Barat
tidak pernah bisa membuktikan bahwa mereka berhasil mengatasi
problematika sosial tersebut. Justru sebaliknya, kehancuran moral telah
merusak tatanan sosial masyarakat Barat, gerakan feminis kemudian
disalahkan karena dianggap telah mengubah perempuan menjadi
makhluk-makhluk gila karir dan menjauhkan mereka dari kehangatan
keluarga. Wallahu a'lam bishshawab.
source: Muslimahzone.com
(siraaj/arrahmah.com)
Sumber : http://arrahmah.com/read/2012/04/19/19489-wanita-muslim-versus-wanita-barat.html

Abu Ali Al-Husein Ibnu Sina atau dikenal dengan nama Avicenna,
yang hidup antara tahun 986-1037 M. Seorang ilmuwan muslim dan Filosof
besar pada waktu itu, hingga kepadanya diberikan julukan Syeh Al-Rais.
Abu Abdullah Muhammad Al-Idrisi
merupakan salah seorang pakar sains Islam yang hidup di Sicily.
Sumbangan utama tokoh ini ialah menghasilkan peta bebola perak seberat
400 paun untuk Raja Roger II, lengkap dengan membahagikan dunia kepada 7
iklim, laluan perdagangan, teluk, tasik, sungai, bandar-bandar besar,
bukit dan lembah serta gunung-ganang. Al Idrisi lahir 1099 Masihi di
Ceuta, Sepanyol dan meninggal pada 1166 Masihi. Beliau juga mencatatkan
jarak dan ketinggian sesuatu tempat dengan tepat. Tokoh Geografi kurun
ke-12 ini kemudiannya menghasilkan buku Nuzhah al Musytaq fi Ishtiraq al
Afaq (Kenikmatan pada Keinginan Untuk Menjelajah Negeri-negeri) atau Roger’s Book
iaitu sebuah ensiklopedia geografi yang mengandungi peta dan informasi
tentang negara Eropah, Afrika dan Asia. Buku ini mencatatkan perihal
masyarakat, budaya, kerajaan dan cuaca negara-negara yang terdapat di
dalam petanya. Beliau turut menggunakan semula garisan lintang dan
garisan bujur yang diperkenalkan sebelumnya dalam peta yang dihasilkan.
Beberapa abad lamanya, Eropah menggunakan peta Al Idrisi dan turut
menggunakan hasil kerja ilmuwan ini ialah Christopher Columbus.



Jauh sebelum ilmu kedokteran maju seperti sekarang, madu telah dipercaya sebagai salah satu
Abu Yusuf Yacub Ibnu Ishak Al-Kindi
Abul Hakam Umar bin Abdurrahman bin Ahmad bin Ali Al-Kirmani adalah
cendekiawan besar abad ke-12 dari Kordoba, Al-Andalus. Ia adalah murid
dari Maslamah Al-Majriti. Ia mempelajari dan berkarya di bidang bidang
geometri dan logika. Menurut muridnya Al-Husain bin Muhammad Al-Husain
bin Hayy Al-Tajibi, “tak ada yang sepandai Al-Kirmani dalam memahami
geometri atau jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya yang tersulit, dan
dalam mempertunjukkan seluruh bagian dan bentuknya.” Ia lalu pindah ke
Harran, Al-Jazirah (sekarang terletak di Turki). Disana ia mempelajari
geometri dan kedokteran. Ia lalu kembali ke Al-Andalus dan tinggal di
Sarqasta (Zaragoza). Ia diketahui menjalankan praktik bedah seperti
amputasi dan kauterisasi.









