Sabtu, 15 Oktober 2011

Adnin Armas: Islamisasi Pendidikan Bukan Sekedar Menempelkan Ayat


Dikotomi pendidikan agama dan sains di sekolah begitu kuat terasa. Banyak siswa yang pintar dalam pelajaran matematika, fisika, dan sosial tapi gagal untuk memupuk akhlaknya. Sekolah lebih menitik beratkan materialisme sebagai tolak ukur keberhasilan. Sebaliknya pelajar yang menguasai keilmuan agama, di lapangan tidak begitu cakap ketika berbicara sains.

Inilah kesenjangan yang jarang ditemukan dalam barisan ulama tempo dulu. Sebab para ulama seperti Fakhruddin Ar Razi, Ibnu Khaldun, dan Imam Ghazali tidak saja menguasai disiplin sains tapi juga agama, begitu juga sebaliknya. Maka tak pelak mereka dijuluki sebagai ulama ensiklopedis, ulama yang menguasai berbagai bidang kajian.

Bersama kawan-kawannya di Gontor, Adnin Armas, kemudian menginisiasi Fakhruddin Ar Razi Competition. Sebuah kompetisi yang bisa dikatakan sebagai olimpiade pertama di Indonesia bahkan di dunia yang menggabungkan disiplin studi Islam dan sains.

Lantas bagaimanakah pandangan Adnin Armas untuk meretas ketimpangan dalam hal ini? Betulkah pelajaran agama semakin hari kian tidak menarik di sekolah-sekolah kita? Apa yang salah dengan ini semua? Bagaimanakah kita harus bersikap? Berikut petikan wawancara wartawan Eramuslim.com, Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi dengan pria yang aktif menghalau pemikiran Islam liberal ini.

Banyak murid cerdas di sekolah, tapi mengapa mereka tidak tertarik kepada agama?

Kalau kita lihat, buku-buku agama di sekolah dibandingkan dengan pelalajaran umum tidak terlihat menantang. Isi dari buku agama kita di sekolah masih agak sederhana. Jadi dari kualitas buku yang ada di sekolah sudah tidak menantang murid. Disinilah terjadi kesenjangan dimana pelajaran agama tidak ditingkatkan sehingga anak-anak kita tidak tertantang untuk berfikir menyelesaikan soal-soal agama. Hal ini berbeda dengan buku-buku umum yang dibuat sedemikian menarik.

 

Dari situ murid jadi menyepelekan Agama?

Iya, padahal rumus kita untuk maju manakala agama harus dijadikan sumber, begitu juga wahyu. Itu rumus kita untuk maju. Kita lihat di Barat sekarang mereka maju tapi hanya fatamorgana. Ekonomi dan teknologi mereka anggap maju, namun dari sisi kehidupan banyak merebak kasus bunuh diri, kemaksiatan, maupun krisis spiritual. Itu terjadi disana. Jadi kita harus meningkatkan dan menjadikan agama menjadi grativiasi dan magnet dalam kehidupan. Bahkan yang lain tidak terlepas dari agama.

Tapi banyak santri kita ketika lulus juga lebih tertarik pada jurusan yang umum?

Nah itulah keterbatasan yang ada di kita sekarang. Namun berbeda dengan ulama yang dulu. Dulu para kyai kita di nusantara banyak menulis di bidang astronomi, kedokteran, falak, matematika, bukan saja masalah fiqh. Jadi jika kita bicara sekarang iya, tapi jika kita berbicara ulama dalam seluruh jenjang peradaban Islam, tentu tidak. Karena dulu ulama kita menulis, dan jumlahnya itu puluhan ribu.

Baru-baru ini seorang orientalis, Samika Hamarneh, menerbitkan buku enskilopedi Kedokteran Islam yang itu jumlahnya 58 jilid. Dan seluruh isi dalamnya berisi otobiografi dokter dan karya kedokteran Islam. Jadi kita bisa bayangkan, itu saja baru di bidang kedokteran. Jadi dulu ulama kita menguasai bidang ini, bahkan Barat mendapat sumbangan dari kaum muslim.

Berarti apa yang salah dengan pendidikan saat ini?

Terjadi penyempitan agama dalam pendidikan kita, yaitu hanya membatasi agama pada persoalan fiqih. Padahal dalam tradisinya, dulu pesantren kita selalu menulis mantiqiyat. Kalau kita lihat Ibnu Siena dan Ar Razi mereka juga menulis mantiqiyat. Kemudian mereka juga menulis thobi’iyat (Ilmu Alam). Kemudian ilahiyat, jadi itu satu paket dan terintegral.

Oleh karenanya dalam hal ini, nalar itu penting. Memang nalar bukan agama, tapi nalar itu bisa kita pakai untuk mencapai kebenaran agama. Karena dalam Islam akal itu penting, walaupun akal bukan sumber segalanya. Sayangnya pesantren kita sekarang lemah dalam bidang nalar, padahal itu tradisi kita dulu. Jadi ada sesuatu yang hilang.

Banyak kritik mengalir ke SDIT, karena terkesan sekedar menempelkan ayat dalam menjelaskan sebuah fenomena. Tanggapan Ustadz?

Oh sebenarnya tidak. Islamisasi itu lebih mendalam, bukan ayatisasi atau labelisasi. Ketika mereka membahas fenomena Alam mereka juga mengaitkan dengan ayat kauliyah yakni Al Qur’an dan Hadis. Ketika dia membahas ayat kauliyah mereka juga mengaitkannya dengan ayat kauniyah. Mereka juga harus belajar bagaimana para peradaban keilmuan para ulama dulu. Seperti Peradaban Islam di Cordoba dan juga Baghdad. Jadi proses pembelajaran itu harus integral.

Siswa bisa terinspirasi dari Ayat Al Qur’an untuk menemukan berbagai teori dari disiplin keilmuan dari berbagai ayat Al Qur’an. Tapi dia tidak mungkin melakukan itu jika dia tidak menguasai beberapa keilmuan tertentu. Jadi bukan kita mewarnai ayat Qur’an, tapi kita yang diwarnai Ayat Qur’an dalam kehidupan kita.

Bagaimana ulama dulu belajar sehingga bisa menguasai banyak ilmu?

Ada banyak faktor yang harus diperbaiki. Pertama peran orangtua. Ulama kita dulu selalu dimulai dari keluarga. Mereka dulu rumahnya benar, orangtuanya benar. Sekarang rumah kita ini gak benar lebih banyak internet dan TV. Bahkan sekarang orang bisa rusak dari handphone.

Setelah proses pendidikan dari rumah berjalan, baru kemudian dimasukkan ke sekolah. Jadi bukan sebaliknya, anak yang pintar itu di sekolahkan ke sekolah umum, tapi yang busuk justru dimasukkan ke pesantren. Nah jadi di pesantren banyak yang dari awal sudah busuk, ketika anaknya bermasalah, pesantren yang disalahkan.

Siapa contoh ulama yang bisa kita tiru melalui proses itu?

Untuk level indonesia kita lihat saja Hamka. Hamka tidaklah produk pendidikan dari Timur Tengah, tapi ia mampu menulis tafsir dari dalam penjara. Hamka bukanlah lulusan Timur Tengah, tapi bahasa Arabnya bisa bagus. Kenapa Hamka bisa seperti itu, karena ayahnya memang seorang ulama. Kemudian guru-guru Hamka juga tokoh pergerakan di zamannya. Lingkungan Hamka di Muhammadiyyah juga baik.

Pak Mohammad Natsir juga sama. Beliau hanya lulusan SMA, tapi itu tidak menghalanginya sebagai Tokoh yang cinta Islam begitu tinggi. Ini menunjukkan bagaimana kualitas almarhum Natsir ini sangat tinggi. Pergaulannya juga bagus. Gurunya adalah A.Hassan dan Ahmad Syoorkati pendiri Al Irsyad.

Jadi bagaimana konsep Islamisasi pendidikan yang baik menurut Ustadz?

Say fikir harus ada syarat yang harus dipenuhi. Orangtua harus berani berkorban penuh demi pendidikan anak. Kemudian sekolah juga tidak boleh mengejar keuntungan semata. Lingkungan juga harus diproteksi.

Selain itu guru juga harus punya rasa tanggung jawab dan keikhalasan. Tidak setelah satu jam selesai, maka ia pun bisa melepas tanggung jawab. Jika memang pelajaran itu menarik, maka harus dilanjutkan. Kita lihat saja Imam Syafi’i, ia tidak meninggalkan Imam Malik sampai Imam Malik meninggal. Jadi syarat itu harus dipenuhi, jika tidak maka akan berat.

Terakhir apa sebenarnya tujuan Ustadz melaksanakan Fakhrudin Ar Razi Competion ini?

Ada banyak yang kita harapkan, salah satunya adalah timbulnya sebuah kesadaran bahwa ulama kita dulu memiliki banyak karya. Akan tetapi secara ringkas, kami ingin melahirkan generasi-generasi baru Fakhruddin Ar Razi, generasi baru Al Khawarizmi. Jadi tidak saja faham agama tapi juga eksakta, begitu juga sebaliknya. Itu yang saya harapkan. (Pz)

Sumber : http://www.eramuslim.com/berita/bincang/adnin-armas-pendidikan-islam-tidak-sekedar-ayatisasi.htm

1 komentar:

Untuk meninggalkan komentar, di bagian "Beri komentar sebagai:" yg ada di bawah, pilih opsi "Name/URL", kemudian isi nama anda pada kolom "Nama" & isi alamat website/blog/link anda pada kolom "URL" (bila tidak ada bisa dikosongkan) lalu klik "Lanjutkan". Setelah itu tulis komentar anda, jika sudah klik "Poskan Komentar" (di pojok kiri bawah). Terakhir, masukan kode acak yg tertera di gambar, lalu klik "Poskan Komentar"