Oleh: Ineu Ratna Utami
“Ya benar bu, seperti yang dikatakan MC tadi, dia seorang
ustadz” jawab saya sambil tersenyum memaklumi keheranan sang ibu.
“Apa di Indonesia dia juga suka ngisi ceramah?” ibu tersebut
masih sangsi dengan jawaban saya dan kembali bertanya.
“Ya, setahu saya beliau salah seorang pendakwah di tempat ia
tinggal, beliau juga memiliki pemahaman dan wawasan Islam mendalam serta fasih
berbahasa Arab.” Kali ini saya jawab sedikit lebih rinci untuk meyakinkan sang
ibu. Kebetulan saya dekat dengan istri sang ustadz sehingga cukup mengetahui
aktivitas mereka berdua.
Raut muka ibu yang bertanya tadi agak sedikit berubah,
sepertinya berusaha mempercayai apa yang baru saja saya ucapkan. Pandangannya
tertuju ke tempat di mana duduk sesosok muda berambut gondrong sebahu yang
mengenakan peci dan kemeja serba putih. Sosok yang baru saja dikatakan MC
sebagai ustadz ini memang sangat nyentrik penampilannya, berbeda dengan
ustadz-ustadz lainnya yang bergantian mengisi ceramah selama ini.
Disadari atau tidak, seringkali kita terperangkap pada pola
pikir atau tata nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat. Tak jarang ketika
menilai seseorang kita tergesa-gesa mengukur hanya pada penampilan fisik, gelar
atau jabatan semata, namun mengabaikan bagaimana pribadi di balik tampilan
luarnya. Sehingga tak heran berkembang di masyarakat, orang-orang yang sibuk
memperbaiki tampilan luar dan berbangga dengan wajah, pakaian, rumah, kendaraan
atau jabatan yang disandang tetapi lalai untuk menata pribadinya. Padahal Allah
SWT sendiri telah berfirman bahwa… “Sesungguhnya orang yang paling mulia di
sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu….” (QS. Al-Hujuraat:
13)
Pernah seorang ustadz bercerita, di tempat tinggalnya
masyarakat hanya mau mendengar dan hormat bila seseorang yang bicara telah
bergelar haji sekalipun orang tersebut awam dalam masalah agama. Sebaliknya,
masyarakat tak akan menggubris bila seseorang tak menyandang predikat haji
walaupun orang itu berwawasan dan memahami Islam dengan baik. Sehingga seorang
penyeru dakwah di sana baru akan didengar seruannya dan berpengaruh pada
masyarakat tersebut bila embel-embel haji telah melekat pada dirinya.
Ada juga cerita unik seorang ustadz lain yang menuturkan
pengalamannya usai memenuhi permintaan menjadi imam sekaligus penceramah saat
bulan Ramadhan di sebuah masjid. Salah seorang pengurus masjid tersebut
berbisik kepadanya agar beliau bersedia mengisi kembali namun dengan sebuah
pesan agar sang ustadz di lain waktu harus menggunakan peci, karena pada saat
berceramah di kesempatan itu rambut sang ustadz dibiarkan leluasa tanpa
penutup.
Heran dan sangsi yang dirasa oleh sang ibu tadi juga adalah
sesuatu hal yang sangat mungkin terjadi, karena imej yang berkembang di
masyarakat tentang sosok seorang ustadz umumnya adalah sosok berambut pendek,
berbaju koko dengan atau tanpa jas serta dilengkapi dengan sorban atau peci
serta berbagai atribut lainnya. Maka ketika ada sosok yang berbeda dari pakem
yang ada, seperti penampilan sang ustadz berambut gondrong saat itu, tak heran
bila mengundang perasaan aneh atau sangsi salah seorang jamaah.
Saya sendiri pernah terjebak dalam perasaan “seram” bila
melihat orang-orang berambut gondrong. Namun perasaan itu lambat laun
menghilang ketika saya bertemu dengan beberapa remaja berambut gondrong yang
menjadi pendatang baru di masjid.
Saat bulan Ramadhan tahun lalu, saya pernah melihat salah
seorang remaja gondrong itu sedang khusyu membaca Al-Quran ketika menanti
ceramah khusus untuk kalangan remaja dimulai. Pada kesempatan lain, remaja itu
menjadi imam shalat buat teman-temannya. Dia dan remaja gondrong lainnya hingga
saat ini tak pernah absen dari berbagai acara yang diselenggarakan di masjid.
Mereka ternyata jauh dari imej yang menyebabkan perasaan seram itu hadir
menyelimuti pikiran saya. Bahkan kini yang ada hanya rasa haru membuncah setiap
melihat mereka melakukan berbagai aktivitas ibadah.
Ya Allah, ampunilah hamba karena pernah terbesit sebentuk
rasa akan penampilan luar hamba-hambaMu yang lain. Padahal bisa jadi mereka
sangat mulia di hadapan Engkau. Berkali-kali istighfar menggema di hati dan
terucap di lisan seiring dengan penjelasan sang ustadz gondrong yang saat itu
sedang membahas tentang orang-orang yang bersegera pada ampunan Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk meninggalkan komentar, di bagian "Beri komentar sebagai:" yg ada di bawah, pilih opsi "Name/URL", kemudian isi nama anda pada kolom "Nama" & isi alamat website/blog/link anda pada kolom "URL" (bila tidak ada bisa dikosongkan) lalu klik "Lanjutkan". Setelah itu tulis komentar anda, jika sudah klik "Poskan Komentar" (di pojok kiri bawah). Terakhir, masukan kode acak yg tertera di gambar, lalu klik "Poskan Komentar"