Dikotomi pendidikan agama dan sains di sekolah begitu kuat
terasa. Banyak siswa yang pintar dalam pelajaran matematika, fisika, dan sosial
tapi gagal untuk memupuk akhlaknya. Sekolah lebih menitik beratkan materialisme
sebagai tolak ukur keberhasilan. Sebaliknya pelajar yang menguasai keilmuan
agama, di lapangan tidak begitu cakap ketika berbicara sains.
Inilah kesenjangan yang jarang ditemukan dalam barisan ulama
tempo dulu. Sebab para ulama seperti Fakhruddin Ar Razi, Ibnu Khaldun, dan Imam
Ghazali tidak saja menguasai disiplin sains tapi juga agama, begitu juga
sebaliknya. Maka tak pelak mereka dijuluki sebagai ulama ensiklopedis, ulama
yang menguasai berbagai bidang kajian.
Bersama kawan-kawannya di Gontor, Adnin Armas, kemudian
menginisiasi Fakhruddin Ar Razi Competition. Sebuah kompetisi yang bisa
dikatakan sebagai olimpiade pertama di Indonesia bahkan di dunia yang
menggabungkan disiplin studi Islam dan sains.
Lantas bagaimanakah pandangan Adnin Armas untuk meretas
ketimpangan dalam hal ini? Betulkah pelajaran agama semakin hari kian tidak
menarik di sekolah-sekolah kita? Apa yang salah dengan ini semua? Bagaimanakah
kita harus bersikap? Berikut petikan wawancara wartawan Eramuslim.com, Muhammad
Pizaro Novelan Tauhidi dengan pria yang aktif menghalau pemikiran Islam liberal
ini.
Banyak murid cerdas di sekolah, tapi mengapa mereka tidak
tertarik kepada agama?
Kalau kita lihat, buku-buku agama di sekolah dibandingkan
dengan pelalajaran umum tidak terlihat menantang. Isi dari buku agama kita di
sekolah masih agak sederhana. Jadi dari kualitas buku yang ada di sekolah sudah
tidak menantang murid. Disinilah terjadi kesenjangan dimana pelajaran agama
tidak ditingkatkan sehingga anak-anak kita tidak tertantang untuk berfikir
menyelesaikan soal-soal agama. Hal ini berbeda dengan buku-buku umum yang
dibuat sedemikian menarik.
Dari situ murid jadi menyepelekan Agama?
Iya, padahal rumus kita untuk maju manakala agama harus
dijadikan sumber, begitu juga wahyu. Itu rumus kita untuk maju. Kita lihat di
Barat sekarang mereka maju tapi hanya fatamorgana. Ekonomi dan teknologi mereka
anggap maju, namun dari sisi kehidupan banyak merebak kasus bunuh diri,
kemaksiatan, maupun krisis spiritual. Itu terjadi disana. Jadi kita harus
meningkatkan dan menjadikan agama menjadi grativiasi dan magnet dalam
kehidupan. Bahkan yang lain tidak terlepas dari agama.
Tapi banyak santri kita ketika lulus juga lebih tertarik
pada jurusan yang umum?
Nah itulah keterbatasan yang ada di kita sekarang. Namun
berbeda dengan ulama yang dulu. Dulu para kyai kita di nusantara banyak menulis
di bidang astronomi, kedokteran, falak, matematika, bukan saja masalah fiqh.
Jadi jika kita bicara sekarang iya, tapi jika kita berbicara ulama dalam
seluruh jenjang peradaban Islam, tentu tidak. Karena dulu ulama kita menulis,
dan jumlahnya itu puluhan ribu.
Baru-baru ini seorang orientalis, Samika Hamarneh,
menerbitkan buku enskilopedi Kedokteran Islam yang itu jumlahnya 58 jilid. Dan
seluruh isi dalamnya berisi otobiografi dokter dan karya kedokteran Islam. Jadi
kita bisa bayangkan, itu saja baru di bidang kedokteran. Jadi dulu ulama kita
menguasai bidang ini, bahkan Barat mendapat sumbangan dari kaum muslim.
Berarti apa yang salah dengan pendidikan saat ini?
Terjadi penyempitan agama dalam pendidikan kita, yaitu hanya
membatasi agama pada persoalan fiqih. Padahal dalam tradisinya, dulu pesantren
kita selalu menulis mantiqiyat. Kalau kita lihat Ibnu Siena dan Ar Razi mereka
juga menulis mantiqiyat. Kemudian mereka juga menulis thobi’iyat (Ilmu Alam).
Kemudian ilahiyat, jadi itu satu paket dan terintegral.
Oleh karenanya dalam hal ini, nalar itu penting. Memang
nalar bukan agama, tapi nalar itu bisa kita pakai untuk mencapai kebenaran
agama. Karena dalam Islam akal itu penting, walaupun akal bukan sumber
segalanya. Sayangnya pesantren kita sekarang lemah dalam bidang nalar, padahal
itu tradisi kita dulu. Jadi ada sesuatu yang hilang.
Banyak kritik mengalir ke SDIT, karena terkesan sekedar
menempelkan ayat dalam menjelaskan sebuah fenomena. Tanggapan Ustadz?
Oh sebenarnya tidak. Islamisasi itu lebih mendalam, bukan
ayatisasi atau labelisasi. Ketika mereka membahas fenomena Alam mereka juga
mengaitkan dengan ayat kauliyah yakni Al Qur’an dan Hadis. Ketika dia membahas
ayat kauliyah mereka juga mengaitkannya dengan ayat kauniyah. Mereka juga harus
belajar bagaimana para peradaban keilmuan para ulama dulu. Seperti Peradaban
Islam di Cordoba dan juga Baghdad. Jadi proses pembelajaran itu harus integral.
Siswa bisa terinspirasi dari Ayat Al Qur’an untuk menemukan
berbagai teori dari disiplin keilmuan dari berbagai ayat Al Qur’an. Tapi dia
tidak mungkin melakukan itu jika dia tidak menguasai beberapa keilmuan
tertentu. Jadi bukan kita mewarnai ayat Qur’an, tapi kita yang diwarnai Ayat
Qur’an dalam kehidupan kita.
Bagaimana ulama dulu belajar sehingga bisa menguasai banyak
ilmu?
Ada banyak faktor yang harus diperbaiki. Pertama peran
orangtua. Ulama kita dulu selalu dimulai dari keluarga. Mereka dulu rumahnya
benar, orangtuanya benar. Sekarang rumah kita ini gak benar lebih banyak
internet dan TV. Bahkan sekarang orang bisa rusak dari handphone.
Setelah proses pendidikan dari rumah berjalan, baru kemudian
dimasukkan ke sekolah. Jadi bukan sebaliknya, anak yang pintar itu di
sekolahkan ke sekolah umum, tapi yang busuk justru dimasukkan ke pesantren. Nah
jadi di pesantren banyak yang dari awal sudah busuk, ketika anaknya bermasalah,
pesantren yang disalahkan.
Siapa contoh ulama yang bisa kita tiru melalui proses itu?
Untuk level indonesia kita lihat saja Hamka. Hamka tidaklah
produk pendidikan dari Timur Tengah, tapi ia mampu menulis tafsir dari dalam
penjara. Hamka bukanlah lulusan Timur Tengah, tapi bahasa Arabnya bisa bagus.
Kenapa Hamka bisa seperti itu, karena ayahnya memang seorang ulama. Kemudian
guru-guru Hamka juga tokoh pergerakan di zamannya. Lingkungan Hamka di
Muhammadiyyah juga baik.
Pak Mohammad Natsir juga sama. Beliau hanya lulusan SMA,
tapi itu tidak menghalanginya sebagai Tokoh yang cinta Islam begitu tinggi. Ini
menunjukkan bagaimana kualitas almarhum Natsir ini sangat tinggi. Pergaulannya
juga bagus. Gurunya adalah A.Hassan dan Ahmad Syoorkati pendiri Al Irsyad.
Jadi bagaimana konsep Islamisasi pendidikan yang baik
menurut Ustadz?
Say fikir harus ada syarat yang harus dipenuhi. Orangtua
harus berani berkorban penuh demi pendidikan anak. Kemudian sekolah juga tidak
boleh mengejar keuntungan semata. Lingkungan juga harus diproteksi.
Selain itu guru juga harus punya rasa tanggung jawab dan
keikhalasan. Tidak setelah satu jam selesai, maka ia pun bisa melepas tanggung
jawab. Jika memang pelajaran itu menarik, maka harus dilanjutkan. Kita lihat
saja Imam Syafi’i, ia tidak meninggalkan Imam Malik sampai Imam Malik
meninggal. Jadi syarat itu harus dipenuhi, jika tidak maka akan berat.
Terakhir apa sebenarnya tujuan Ustadz melaksanakan Fakhrudin
Ar Razi Competion ini?
Ada banyak yang kita harapkan, salah satunya adalah
timbulnya sebuah kesadaran bahwa ulama kita dulu memiliki banyak karya. Akan
tetapi secara ringkas, kami ingin melahirkan generasi-generasi baru Fakhruddin
Ar Razi, generasi baru Al Khawarizmi. Jadi tidak saja faham agama tapi juga
eksakta, begitu juga sebaliknya. Itu yang saya harapkan. (Pz)
Sumber : http://www.eramuslim.com/berita/bincang/adnin-armas-pendidikan-islam-tidak-sekedar-ayatisasi.htm
terus psting info2 yg bermanfaatnya gan
BalasHapussenang bisa berkunjung ke blog anda
terimakasih banyak