dakwatuna.com - Sesungguhnya bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah
riba yang diharamkan, karena riba adalah semua tambahan yang disyaratkan atas
pokok harta. Artinya, apa yang diambil seseorang tanpa melalui usaha
perdagangan dan tanpa berpayah-payah sebagai tambahan atas pokok hartanya, maka
yang demikian itu termasuk riba. Dalam hal ini Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan
sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan
jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu
tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
(QS. Baqarah: 278-279)
Yang dimaksud dengan tobat di sini
ialah seseorang tetap pada pokok hartanya, dan berprinsip bahwa tambahan yang
timbul darinya adalah riba. Bunga-bunga sebagai tambahan atas pokok harta yang
diperoleh tanpa melalui persekutuan atas perkongsian, mudharakah, atau
bentuk-bentuk persekutuan dagang lainnya, adalah riba yang diharamkan.
Sedangkan guru saya Syekh Syaltut sepengetahuan saya tidak pernah
memperbolehkan bunga riba, hanya beliau pernah mengatakan: “Bila keadaan
darurat – baik darurat individu maupun darurat ijtima’iyah – maka bolehlah
dipungut bunga itu.” Dalam hal ini beliau memperluas makna darurat melebihi
yang semestinya, dan perluasan beliau ini tidak saya setujui. Yang pernah
beliau fatwakan juga ialah menabung di bank sebagai sesuatu yang lain dari
bunga bank. Namun, saya tetap tidak setuju dengan pendapat ini.
Islam tidak memperbolehkan seseorang
menaruh pokok hartanya dengan hanya mengambil keuntungan. Apabila dia melakukan
perkongsian, dia wajib memperoleh keuntungan begitu pun kerugiannya. Kalau
keuntungannya sedikit, maka dia berbagi keuntungan sedikit, demikian juga jika
memperoleh keuntungan yang banyak. Dan jika tidak mendapatkan keuntungan, dia
juga harus menanggung kerugiannya. Inilah makna persekutuan yang sama-sama
memikul tanggung jawab.
Perbandingan perolehan keuntungan
yang tidak wajar antara pemilik modal dengan pengelola – misalnya pengelola
memperoleh keuntungan sebesar 80%-90% sedangkan pemilik modal hanya lima atau
enam persen – atau terlepasnya tanggung jawab pemilik modal ketika pengelola
mengalami kerugian, maka cara seperti ini menyimpang dari sistem ekonomi Islam
meskipun Syekh Syaltut pernah memfatwakan kebolehannya. Semoga Allah memberi
rahmat dan ampunan kepada beliau.
Maka pertanyaan apakah dibolehkan
mengambil bunga bank, saya jawab tidak boleh. Tidak halal baginya dan tidak
boleh ia mengambil bunga bank, serta tidaklah memadai jika ia menzakati harta
yang ia simpan di bank.
Kemudian langkah apa yang harus kita
lakukan jika menghadapi kasus demikian?
Jawaban saya: segala sesuatu yang
haram tidak boleh dimiliki dan wajib disedekahkan sebagaimana dikatakan para
ulama muhaqqiq (ahli tahqiq). Sedangkan sebagian ulama yang wara’ (sangat
berhati-hati) berpendapat bahwa uang itu tidak boleh diambil meskipun untuk
disedekahkan, ia harus membiarkannya atau membuangnya ke laut. Dengan alasan,
seseorang tidak boleh bersedekah dengan sesuatu yang jelek. Tetapi pendapat ini
bertentangan dengan kaidah syar’iyyah yang melarang menyia-nyiakan harta dan
tidak memanfaatkannya.
Harta itu bolehlah diambil dan
disedekahkan kepada fakir miskin, atau disalurkan pada proyek-proyek kebaikan
atau lainnya yang oleh si penabung dipandang bermanfaat bagi kepentingan Islam
dan kaum muslimin. Karena harta haram itu – sebagaimana saya katakan – bukanlah
milik seseorang, uang itu bukan milik bank atau milik penabung, tetapi milik
kemaslahatan umum.
Demikianlah keadaan harta yang
haram, tidak ada manfaatnya dizakati, karena zakat itu tidak dapat
mensucikannya. Yang dapat mensucikan harta ialah mengeluarkan sebagian darinya
untuk zakat. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak menerima
sedekah dari hasil korupsi.”
(HR Muslim)
Allah tidak menerima sedekah dari
harta semacam ini, karena harta tersebut bukan milik orang yang memegangnya
tetapi milik umum yang dikorupsi.
Oleh sebab itu, janganlah seseorang
mengambil bunga bank untuk kepentingan dirinya, dan jangan pula membiarkannya
menjadi milik bank sehingga dimanfaatkan karena hal ini akan memperkuat posisi
bank dalam bermuamalat secara riba. Tetapi hendaklah ia mengambilnya dan
menggunakannya pada jalan-jalan kebaikan.
Sebagian orang ada yang mengemukakan
alasan bahwa sesungguhnya seseorang yang menyimpan uang di bank juga memiliki
risiko kerugian jika bank itu mengalami kerugian dan pailit, misalnya karena
sebab tertentu. Maka saya katakan bahwa kerugian seperti itu tidak membatalkan
kaidah, walaupun si penabung mengalami kerugian akibat dari kepailitan atau
kebangkrutan tersebut, karena hal ini menyimpang dari kaidah yang telah
ditetapkan. Sebab tiap-tiap kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam
syariat Ilahi -demikian juga dalam undang-undang buatan manusia – tidak boleh
disandarkan kepada perkara-perkara yang ganjil dan jarang terjadi. Semua ulama
telah sepakat bahwa sesuatu yang jarang terjadi tidak dapat dijadikan sebagai
sandaran hukum, dan sesuatu yang lebih sering terjadi dihukumi sebagai hukum
keseluruhan. Oleh karenanya, kejadian tertentu tidak dapat membatalkan kaidah
kulliyyah (kaidah umum).
Menurut kaidah umum, orang yang
menabung uang (di bank) dengan jalan riba hanya mendapatkan keuntungan tanpa
memiliki risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia mengalami kerugian, maka hal
itu merupakan suatu keganjilan atau penyimpangan dari kondisi normal, dan
keganjilan tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum.
Boleh jadi saudara berkata, “Tetapi
bank juga mengolah uang para nasabah, maka mengapa saya tidak boleh mengambil
keuntungannya?”
Betul bahwa bank memperdagangkan
uang tersebut, tetapi apakah sang nasabah ikut melakukan aktivitas dagang itu.
Sudah tentu tidak. Kalau nasabah bersekutu atau berkongsi dengan pihak bank sejak
semula, maka akadnya adalah akad berkongsi, dan sebagai konsekuensinya nasabah
akan ikut menanggung apabila bank mengalami kerugian. Tetapi pada kenyataannya,
pada saat bank mengalami kerugian atau bangkrut, maka para penabung menuntut
dan meminta uang mereka, dan pihak bank pun tidak mengingkarinya. Bahkan
kadang-kadang pihak bank mengembalikan uang simpanan tersebut dengan pembagian
yang adil (seimbang) jika berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika
berjumlah sedikit.
Bagaimanapun juga sang nasabah
tidaklah menganggap dirinya bertanggung jawab atas kerugian itu dan tidak pula
merasa bersekutu dalam kerugian bank tersebut, bahkan mereka menuntut uangnya
secara utuh tanpa kurang sedikit pun.
–
Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa
Kontemporer
(hdn)
Sumber : www.dakwatuna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk meninggalkan komentar, di bagian "Beri komentar sebagai:" yg ada di bawah, pilih opsi "Name/URL", kemudian isi nama anda pada kolom "Nama" & isi alamat website/blog/link anda pada kolom "URL" (bila tidak ada bisa dikosongkan) lalu klik "Lanjutkan". Setelah itu tulis komentar anda, jika sudah klik "Poskan Komentar" (di pojok kiri bawah). Terakhir, masukan kode acak yg tertera di gambar, lalu klik "Poskan Komentar"