Entah sudah berapa lama kita tak berjumpa kawan, berkumpul bersama, bertukar pikiran, belajar bersama, hingga mengkaji “Buku Sakti”, saling mengkoreksi bacaan yang tersendat sendat, ditambah dengan verboden tadjwid, yang terkadang suka kita langgar… aihhh.. teringat saat masih berseragam putih abu abu, dengan tempat tongkrongan bernama nurul iman.. saat tiba disekolah pada pagi hari kita duduk didepan nurul iman, istirahat pertama ngumpul di nurul iman, makan siang di nurul iman (lebih tepatnya di pelatarannya), bahkan sampai jam pelajaran usaipun kita masih sempat sempatnya ke nurul iman dulu…pokoknya ngalahin mas darso deh..hehe..
Oke, cukup nostalgianya…
Setelah menamatkan masa SMA, kita berpencar kemana mana, ada yang diantara kita di PTN ataupun di PTS, khusus bagi penulis yang memilih kuliah di kampus agama yang kental dengan study pemikiran dan pergerakan.. saat libur panjang setelah lulus SMA, yang entah berapa bulan, secara khusus saya mencari tahu tentang seluk beluk kampus saya. Entah itu dari mulai mata kuliah yang akan dipelajari sampai dengan atmosfir kampus (yang sudah menjadi rahasia umum) merupakan kampus yang mengeluarkan alumni alumni yang handal dalam membela agama atau bahkan melawan dan menentang agama.
Atas dasar itulah saya agaknya merasa was was akan apa yang saya dapatkan nantinya dikampus peradaban tersebut, mengingat atmosfir sekulerisme, pluralisme ,dan liberalism agama (sepilis) yang tergolong kental dikampus tersebut. Banyak paham paham hidden yang tanpa disadari, sering terselip di matakuliah matakuliah yang disampaikan oleh para dosen. Hingga akhirnya penulis merasa perlu untuk bertukar pikiran dengan ustadz ustadz yang sudah dikenal lurus oleh public. Sampai suatu ketika seorang penulis dari sebuah media islam online yang cukup terkenal menyarankan saya untuk kuliah pula disebuah institute yang mengkaji tentang paham paham sesat dan nyeleneh. Disana saya mendapatkan pengetahuan baru mengenai kesesatan kesesatat yang seringkali tak kita pahami, mengenai kebobrokan paham sepilis yang melindungi aliran aliran sesat semisal Ahmadiyah, NII, dan wabil khusus JIL (jaringan islam liberal)
Setelah mempelajari dengan lebih mendalam di lembaga tersebut mengenai paham paham sesat semisal liberalism dan kawan kawannya, mindset saya mulai terbuka lebih luas dari sebelumnya. Mulai mampu membedakan mana orang orang yang lurus, dan mana yang sudah mulai melenceng akidah ke islamanya. Hal itu dapat dengan mudah dilihat Ketika seseorang berbicara ataupun berfilsafat mengenai demokrasi, kebebasan HAM, dan kesetaraan Gender yang bersandar kepada barat. Yang dimana harus kita akui bersama bahwa barat merupakan peradaban yang terlalu rapuh baik itu perilaku dan moralitasnya jika dijadikan pedoman hidup.
Dan waktu pun terus berjalan, hingga suatu ketika seorang kawan SMA saya yang berkuliah di salah satu universitas dibilangan Jakarta berujar mengenai sesuatu hal yang agak membuat saya kaget. Yang saya tangkap dari ucapannya adalah sesuatu hal yang mulai mengarah kepluralism agama, dan relativitas keyakinan. Padahal kami satu rohis saat SMA dulu dan dimana paham pluralism agama sudah mendapatkan fatwa sesat dari MUI. Agaknya tak terlalu mengherankan jika dilihat dari latar belakang pendidikannya, dimana banyak study study filsafat dimata kuliahnya, selain juga paham sepilis sudah mulai merebak seperti jamur di lembaga lembaga pendidikan sekuler (memisahkan segala hal dengan agama).
Yang ingin saya tekankan disini adalah, bukan tentang dimana kita belajar dan mendapatkan ilmu. karena suatu keharusan bagi kita seorang muslim untuk menuntut ilmu dimanapun tempat mendapatkannya, baik itu di lembaga formal ataupun informal. Dan yang menjadi perhatian adalah agaknya kita sebagai seorang mahasiswa, haruslah bersifat kritis dan berhati hati dalam menyikapi ilmu ilmu yang kita dapat. Jangan sampai ilmu yang kita dapatkan, kita telan secara mentah mentah, tanpa dipikirkan hal tersebut mempengaruhi keimanan kita atau tidak.
Dan perlu diingat bahwa akidah seorang muslim itu haruslah bersih dari segala macam debu debu dan kotoran yang mampu merusak keimanan. Sekecil apapun debu itu, jika debu menempel di lantai yang bersih, tetaplah lantai itu akan menjadi kotor, dan kurang elok untuk dipandang. Begitu pula dengan akidah kita, haruslah senantiasa dijaga kebersihannya, hingga tak ada yang mampu mengotorinya.
Dan pesan saya, imbangilah ilmu ilmu umum yang teman teman dapatkan dibangku kuliah, dengan tetap menjaga keistiqamahan teman teman untuk tetap mempelajari islam secara terus menerus tanpa pernah puas. Pelajarilah islam dari ustadz ustadz dan media media yang telah dikenal lurus pemahaman keislamannya, perbanyak interaksi dengan Allah SWT. Dengan tetap menjalankan syariat syariatnya, dan seringlah berkumpul dengan orang orang shaleh.
Mungkin hanya ini yang mampu penulis berikan kepada teman teman, semoga akidah kita tetap dijaga oleh Allah, dan tidak tergerus oleh kerasnya zaman.
“Aku rindu zaman ketika NASIHAT menjadi kesenangan, bukan SU’UDZON apalagi MENJATUHKAN” (ustdz. Rahmad Abdullah)
Kurang lebihnya saya mohon maaf.
Was’salam.
artikelnya bgus,tinggal dikembangin lagi aja teknik penulisannya..
BalasHapuskira2 dari artikelnya, yang masih kurang di bagian mana ya? (syukron)
BalasHapus